Saat aku menulis catatan ini seperti
ada dinamit di atas kepala, meledak ledak dengan kesenangan dan kesedihan.
Manokwari – Bintuni adalah perjalanan antar kota yang sangat gila. Bayangkan
saja jalan yang harus di tempuh adalah lumpur pekat, tak ada jalan tol,
pembatas jalan atau rambu – rambu lalu lintas. Inilah the real off road. Di
awal perjalanan akan dihiasi dengan tepian pantai dan deburan ombak, sekitar 70
KM jalanan masih terhitung bagus. 30 KM selanjutnya adalah pemandangan hutan
dan pegunungan. Deretan pohon besar menghiasi tepian jalan seperti para ponggawa
yang menyambut sang raja, berdiri kekar, kuat inilah hutan Papua. Dari kejauhan
kau akan melihat deretan pegunungan Arfak. Mereka menyebutnya sebagai tempat
bermukim si cendrawasih burung surga dari tanah Papua. Aku berharap suatu saat
bisa mendakinya. Namun tak lama kemudian 180 derajat kondisi berubah. Lumpur
becek dengan ketebalan 20 cm harus ditempuh, mau tidak mau, suka tidak suka
harus dilewati karena memang tidak ada alternatif jalur lain. Maka yang harus
disiapkan adalah mobil khusus dan sopir dengan kemampuan khusus. 
Saat itu mobil yang kita gunakan
adalah HILUX dengan roda 4WD, ban yang sudah dimodifikasi. Aku masih inget saat
mobil terjebak di kubangan lumpur, mesin menjerit jerit seperti kuda yang
terjerat lumpur hisap. Posisinya tidak lurus lagi, dia mendaki zigzag memilih
lumpur yang lebih rendah. Roda belakang berputar namun mobil tak mau maju. Sang
sopir tak mau menyerah begitu saja, ia kenakan kekuatan penuh gigi 1, RPM di
atas 5. Inilah kondisi terbaik menurutnya. Mobil kembali, berbunyi kini
suaranya lebih halus, perlahan- lahan dan lembut mendesah. Namun sayang si
lumpur lebih kuat, terpaksa supir keluar dan meminta bantuan. Untungnya masih
ada mobil yang lewat dan mau menarik kami. Yang patut di kagumi dari penduduk
Papua adalah solidaritasnya, mereka membantu tak pandang bulu. Kami baru sadar
bahwa mobil keluar dari jebakannya pukul 22.00 WIT. Adrenalin semakin terpacu
saat melihat pengendara membabi buta dengan gaya yang khas. Sudah bisa ditebak
bahwa sang supir berdarah asli Papua. Saat kami melaju pelan berhati hati
memilih jalan yang lebih mudah, dia malah memacu kendarannya dengan kecepatan
penuh. Sontak saja sang kuda menjingkrak, berputar 360 derajat, membentur kaca
sepion mobil yang kita tumpangi. Aku sempet kesel karena aksinya bisa saja
membunuh pengendara lain. Tapi melihatnya dari kejauhan membuat mata terpana
berdecak kagum. Caranya mendaki sungguh luar biasa, melilit- lilit seperti ular
menyambut mangsanya.
Comments
Post a Comment